Anak merupakan amanah Allah SWT yang harus kita jaga, kita bimbing dan kita didik agar menjadi pribadi yang baik.
Seorang anak yang baru lahir itu ibarat kertas yang berwarna putih. Bersih, suci tak ada noda-noda yang menghiasi. Tinggal orang tua dan pengaruh lingkungan yang menjadikan kertas putih bersih itu menjadi berwarna. Jika orang tua memberi warna biru, maka kertas putih itu menjadi warna biru. Jika lingkungan memberi warna hitam, maka kertas putih itu menjadi warna hitam. Ketika guru memberi warna hijau maka kertas putih itu menjadi warna hijau.
Sekarang, jika anak-anak sudah tidak bisa dididik dan dibimbing dengan baik. Itu menjadi salah siapa??
Sungguh miris ketika melihat berita di tv, di internet maupun di surat kabar. Anak-anak zaman sekarang ini seperti sudah tidak mempunyai akhlakul karimah lagi. Contohnya di sekolah, banyak siswa yang menghajar gurunya ketika sang guru mengingatkan pada perilaku yang menyimpang itu. Sekarang ini guru di sekolah seperti sudah tidak mempunyai wibawa lagi. Ketika orangtua juga melaporkannnya pada polisi.
Seharusnya mendidik anak agar menjadi lebih baik lagi itu adalah faktor dari tri pusat pendidikan. Yaitu dari pendidikan di rumah, di sekolah dan di lingkungan sekitarnya. Ketiga faktor itulah yang harus benar-benar mendidik anak menjadi pribadi yang baik.
Rumput Liar
Kamis, 18 April 2019
Senin, 21 November 2016
Tradisi "Slametan" dalam perspektif Islam
1. PENDAHULUAN
Sejak kapan
mulai adanya tradisi selamatan di Indonesia ini, sampai detik ini belum ada
keterangan pasti. Namun, hampir dapat disepakati bahwa timbulnya tradisi
selamatan tidak bisa dilepaskan dari pengaruh lingkungan sosial budaya bangsa
Indonesia. Khususnya pengaruh dari kepercayaan yang telah dianut bangsa
Indonesia sebelum islam datang yaitu animisme, dinamisme, hindunisme, dan budhaisme.
Tradisi
selametan yang sudah dibina oleh walisongo dengan isi unsur-unsur keislaman ini
disebut oleh masyarakat Jawa dengan sebutan selamatan atau kenduri. Tradisi ini
merupakan tradisi orang Jawa sebelum islam datang.
Dalam hal ini
berlaku kaidah “almuhafazhatu ‘ala al-qadim al shalih wal akhdzu bi al jaded
al aslah” yaitu melestarikan kebaikan yang ada dan mengambil atau
mengkreasi sesuatu yang baru yang lebih baik dengan menggunakan kaidah ini.
Pengikut aswaja memiliki pegangan dalam menyikapi tradisi. Yang dilihat bukan
tradisi atau budayanya, tetapi nilai yang dikandungnya. Jika sebuah budaya
tidak bertentangan dengan ajaran pokok islam dalam artian mengandung kebaikan,
maka bisa diterima. Bahkan bisa dipertahankan untuk diikuti. Ini sebagaimana
kaidah ushul fiqh al-adah muhakkamah bahwa budaya atau tradisi yang baik
bisa menjadi pertimbangan hukum. [1]
2. Pengertian Selametan
Salah satu adat istiadat, sebagai ritual
keagamaan yang paling populer di
masyarakat Islam Jawa adalah selametan. Suatu upacara ritual yang telah
mentradisi di kalangan masyarakat islam jawa yang dilaksanakan untuk
peristiwa-peristiwa penting.[2]
Dalam buku Ensiklopedi Kebudayaan jawa, slametan
diartikan sebagai upacara sedekah makanan dan doa bersama, yang bertujuan untuk
memohon keselamatan dan ketentraman untuk ahli keluarga yang menyelenggarakan.
Alasan utama yang lebih kuat dalam pelaksanaan slametan yaitu keinginan untuk
mencapai keadaan yang aman dan sejahtera.
Upacara slametan biasanya di rumah suatu
keluarga, dan dihadiri oleh anggota-anggota keluarga dengan beberapa tamu
(kebanyakan pria), yaitu biasanya tetangga-tetangga terdekat dan
kenalan-kenalan yang tinggal tidak terlalu jauh, kerabat-kerabat yang tinggal
di kota atau dusun yang sama, dan adakalanya juga teman-teman akrab yang
mungkin tinggal agak jauh. [3]
3. Dasar Pelaksanaan dan Hukum Selametan
Sebagaimana telah disinggung di muka bahwa
sesungguhnya hakikat dari kegunaan selametan ini adalah bersedekah. Hanya saja
bentuknya berupa makanan yang sudah siap saji. Bersedekah jelas dianjurkan oleh
agama Islam dengan tujuan agar mendapatkan pahala dan kebaikan dari Allah.
Banyak ayat-ayat Al-quran dan Hadits Rasulullah SAW yang menjelaskan tentang
fadlilah shadaqah ini. Diantaranya :
إِنْ تُبْدُوْا الصَّدَقَتِ فَنِعِمَا هِيَ صلى
وَاِنْ تُخْفُوْهَا وَتُؤْتُوْهَا الْفُقَرَآءَ فَهُوَ (البقره :271) خَيْرٌلَّكُمْجوَيُكَفِّرُعَنْكُمْ مِّنْ سَيِّئَا
تِيْكُمْ قلى وَاللهُ بِمَا تَعْمَلُوْنَ خَبِيْرٌ
Artinya :
“Jika kamu menampakkan sedekah(mu), maka itu
adalah baik sekali. Dan jika kamu menyembunyikan dan kamu berikan kepada
orang-orang fakir, maka menyembunyikan itu lebih baik bagimu. Dan Allah akan
menghapuskan dari kamu sebagian kesalahan-kesalahanmu, dan Allah mengetahui apa
yang kamu kerjakan.” (QS. Al-baqarah 271).
Dalam firman-Nya juga meneyebutkan dalam
Ali-imran ayat 92 :
لَنْ تَنَالُواالْبِرَّحَتَّى تُنْفِقُوْا
مِمَّا تُحِبُّوْنَ ج وَمَا تُنْفِقُوْا مِنْ شَيْئٍ فَإِنَّاللهَ بِهِ
عَلِيْمٌ
Artinya :
“kamu sekali-kali tidak sampai pada kebajikan
(yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sebahagiaan harta yang kamu cintai.
Dan apasaja yang kamu nafkahkan, maka sesungguhnya Allah mengetahuinya. ” (QS.
Ali-imran 92).[4]
Dalam kitab al-Majmu’ Syarah al-Muhadzab juz 5 hal 258. Menegaskan:
يُـسْـتَـحَبُّ اَنْ يَـمْكُثَ عَلىَ اْلقَبْرِ بَعْدَ الدُّفْنِ سَاعَـةً يَدْعُوْ لِلْمَيِّتِ وَيَسْـتَـغْفِرُ لَهُ . نَـصَّ عَلَيْهِ اَلشَّافِعِىُّ وَاتَّفَقَ عَلَيْهِ اَلاَصْحَابُ قَالوُا : يُـسْـتَـحَبُّ اَنْ يَـقْرَأَ عِنْدَهُ شَيْئٌ مِنَ اْلقُرْأَنِ وَاِنْ خَتَمُوْا َاْلقُرْأَنَ كَانَ اَفْضَلُ . المجموع :5 – 258.
Artinya “Disunnahkan untuk diam sesaat di samping kubur setelah menguburkan mayit untuk mendoakan dan memohonkan ampunan kepadanya”, pendapat ini disetujui oleh Imam Syafi’i dan pengikut-pengikutnya, dan bahkan pengikut Imam Syafi’i mengatakan “sunah dibacakan beberapa ayat al-Qur’an di samping kubur si mayit, dan lebih utama jika sampai menghatamkan al-Qur’an”.
يُـسْـتَـحَبُّ اَنْ يَـمْكُثَ عَلىَ اْلقَبْرِ بَعْدَ الدُّفْنِ سَاعَـةً يَدْعُوْ لِلْمَيِّتِ وَيَسْـتَـغْفِرُ لَهُ . نَـصَّ عَلَيْهِ اَلشَّافِعِىُّ وَاتَّفَقَ عَلَيْهِ اَلاَصْحَابُ قَالوُا : يُـسْـتَـحَبُّ اَنْ يَـقْرَأَ عِنْدَهُ شَيْئٌ مِنَ اْلقُرْأَنِ وَاِنْ خَتَمُوْا َاْلقُرْأَنَ كَانَ اَفْضَلُ . المجموع :5 – 258.
Artinya “Disunnahkan untuk diam sesaat di samping kubur setelah menguburkan mayit untuk mendoakan dan memohonkan ampunan kepadanya”, pendapat ini disetujui oleh Imam Syafi’i dan pengikut-pengikutnya, dan bahkan pengikut Imam Syafi’i mengatakan “sunah dibacakan beberapa ayat al-Qur’an di samping kubur si mayit, dan lebih utama jika sampai menghatamkan al-Qur’an”.
Menurut Fuqoha’
Ahlussunnah Wal Jama’ah
Menurut jumhur fuqoha’ ahlussunnah wal jama’ah seperti yang telah diterangkan oleh al-‘Allamah Muhammad al-‘Araby mengutip dari hadits Rasulullah dari sahabat Abu Hurairah ra.
Menurut jumhur fuqoha’ ahlussunnah wal jama’ah seperti yang telah diterangkan oleh al-‘Allamah Muhammad al-‘Araby mengutip dari hadits Rasulullah dari sahabat Abu Hurairah ra.
وَعَنْ اَبِـى هُرَيْرَةَ رَضِىَ الله ُعَنْهُ قَالَ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّىالله ُعَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ دَخَلَ اَلْمَقَابِرَ ثُمَّ قَرَأ َفَاتِحَةَ اْلكِتَابِ وَقُلْ هُوَالله ُاَحَدٌ , وَاَلْهَاكُمُ التَّكَاثُرْ , ثُمَّ قَالَ : اِنـِّى جَعَلْتُ ثَوَابَ مَا قَرَأْتُ مِنْ كَلاَمِكَ ِلأَهْلِ اْلـَمقَابِرَ مِنَ اْلمُؤْمِنِيْنَ وَاْلمُؤْمِنَاتِ كَانُوْ شُفَعَاءَ لَهُ اِلَى الله تَعَالىَ .
Artinya: Abi Hurairah ra. berkata, Rasulullah saw bersabda “barang siapa berziarah ke makam/kuburan kemudian membaca al-Fatikhah, Qul Huwa Allah Akhad, dan al-Hakumuttakatsur, kemudian berdoa “sesungguhnya aku hadiahkan pahala apa yang telah kubaca dari firmanmu kepada ahli kubur dari orang mukmin laki-laki dan mukmin perempuan” maka pahala tersebut bisa mensyafaati si mayit di sisi Allah swt.”[5]
Sungguh besar
fadhilah dari shadaqah ini, termasuk juga shadaqah yang dilakukan melalui
kegiatan selametan. Dimana dalam acara tersebut diisi dengan kegiatan membaca
Al-quran, dzikir, shalawat, dan doa. Tujuannya adalah untuk memohon keselamatan
kepada Allah agar terhindar dari malapetaka, bencana, dan juga mendoakan orang
yang telah meninggal dunia agar mendapatkan ampunan atas segala dosa dan
kesalahan yang pernah diperbuat pada waktu hidupnya. Segala amal kebaikannya
diterima oleh Allah, senantiasa dilimpahi rahmat dan ridha Allah.
Adapun mengenai hukum selametan adalah sunnah,
khusus untuk walimatul ‘ursy hukumnya sunnah muakad.
4. Macam-macam Pelaksanaan Selametan
Macam-macam selametan yang sering diadakan di
sekitar kita yaitu :
a. Selametan kelahiran
Sudah menjadi kebiasaan sebagian masyarakat
Islam, bukan hanya di Indonesia, namun juga sebagian masyarakat muslim Asia
Tenggara. Saat kehamilan hingga kelahiran sering diadakan upacara selametan.
Jenis ritual selametan pada siklus kelahiran
seperti :
1)
Ngupati atau ngapati, yaitu selametan yang diadakan saat
kehamilan mencapai usia 120 hari atau 4 bulan.
2)
Mitoni atau tingkeban, yaitu selametan yang diadakan saat
kehamilan mencapai usia tujuh bulan.
3)
Sepasaran, yaitu selametan yang diadakan saat hari ke-5
setelah keahiran bayi, pemberian nama dan
4)
Puputan. Yaitu selametan setelah lepasnya tali pusar
bayi.
5)
Selapanan, yaitu selametan yang diadakan saat hari ke-35
setelah kelahiran bayi.
6)
Tedhak siti, yaitu selametan yang diadakan saat anak
berusia 245 hari.
7)
Setahun, yaitu selametan yang diadakan saat usi anak 1
tahun.
Inti ritual atau upacara yang diadakan
tersebut merupakan acara berdoa (sebagai sikap rasa syukur, ketundukan dan
kepasrahan, sekaligus permohonan perlindungan). Mengajukan permohonan kepada
Allah agar nanti anak lahir dalam keadaan utuh sempurna, yang sehat, yang
dianugerahi rixki yang baik dan lapang, berumur panjang, bermanfaat, yang penuh
dengan nilai-nilai ibadah, beruntung di dunia dan di akhirat.
Pada
sebagian masyarakat muslim saat ini, pada upacara tersebut terkadang juga di
adakan acara sima’an, yaitu pembacaan Al-quran oleh yang hafal Al-quran 30 juz.
Dengan disimak oleh orang banyak sampai selesai. Kemudian malamnya diadakan
pembacaan beberapa kitab jenis Al-maulid atau Manaqib. Pembacaan tersebut
memiliki tendensi agar anak selalu menggunakan Al-quran sebagai pedoman hidup
dan dapat mentauladani Rasulullah SAW serta tokoh ulama aulia lainnya.
Sehingga
dapat dinyatakan bahwa sebenarnya merupakan suatu hal yang sangat indah dan
menentramkan sekali ritual-ritual tersebut. Dengan upacara itu, maka selain doa
dan sedekah, rajutan silaturahmi juga semakin terjalin akrab. Karena dalam
selametan tersebut, yang memiliki hajat meminta kepada sejumlah orang untuk
berdoa dan mendoakan, yang disertai dengan perilaku sedekah. Sedekah sendiri
merupakan bentuk kesadaran untuk bershadaqah, yakni suatu jenis amal shalih
memberikan barang kepada orang lain secara sukarela. Sebagai bentuk ibadah
membenarkan ajaran Allah melalui Rasulullah SAW.
Karena
salah satu tendensi ritual tersebut adalah memanjatkan doa kepada Allah,
melalukan sedekah dan menjalin silaturahmi, maka dalam konteks hukum agama
islam, hal tersebut menjadi mustahab (hal yang disukai oleh Allah dan
Rasul-Nya), dimana mustahab ini merupakan bagian dari al-sunnah
al-nabawiyah (sunnah atau tradisi kenabian).[6]
b. Selametan Perkawinan
Jenis selametan pada tradisi perkawinan
seperti :
1) Pumbakarnan, yaitu selametan setelah
memusyawarahkan segala hal yang akan dilaksanakan terkait dengan upacara
pernikahan.
2) Pasang tarub, yaitu selametan yang diadakan
pada malam 2 atau 1 hari sebelum upacara pernikahan.
3) Midodareni, yaitu selametan malam upacara
pernikahan sekaligus tebusan kembang mayang.
4) Walimahan, yaitu selametan yang dilaksanakan
pada saat sesudah ijab qabul atau setelah upacara pernikahan.
5) Sepasaran manten, yaitu selametan yang
dilaksanakan pada hari ke-5 dari ijal dan qabul.
Serangkaian selametan di atas, merupakan tanda
syukur atas nikmat Allah SWT dan juga agar masyarakat mengetahui dan dapat
menyaksikan ats terjadinya pernikahan.
Kemudian umumnya pada pelaksanaan pernikahan
tersebut terdapat acara walimatul ‘ursy. Walimatul ‘ursy ialah
perayaan atau kenduri dalam rangka pernikahan atau sesudahnya. Hukum
pengadaannya adalah sunnah muakad, sebagaimana sabda Rasul yang artinya :
“Umumkanlah pernikahan dan pukullah genderang untuk itu”.
Pelaksanaan walimahan itu boleh dilakukan pada
saat akad (sesudah berlangsungnya) atau pada waktu yang lain, tergantung pada
adat kebiasaan yang berlaku di tempat tersebut.
c. Selametan Kematian
Jenis ritual selametan kematian antara lain :
1)
Surtanah, yaitu setelah mayat dikebumikan.
2)
Nelungdina, yaitu selametan hari ke-3 dari kematian.
3)
Mitungdina, yaitu selametan hari ke-7 dari kematian.
4)
Matangpuluhan, yaitu selametan hari ke-40 dari kemarian.
5)
Nyatusdina, yaitu selametan hari ke-100 dari kematian.
6)
Mendak pisan, yaitu peringatan satu tahun pertama dari
kematian.
7)
Mandak pindo, yaitu peringatan dua tahun dari kematian.
8)
Nyewu dina, yaitu purna upacara bagi orang yang sudah
meninggal.
Haul yaitu selametan peringatan tahunan bagi
orang yang sudah meninggal. Menurut keyakinan Islam, orang-orang yang sudah
meninggal dunia, ruhnya tetap hidup sebagaimana menurut orang Jawa. Hanya saja
ruh itu tinggal sementara di alamkubur atau alam barzah, yakni alam sebelum
memasuki alam akhirat. Islam percaya bahwa orang yang meninggal dunia perlu
dikirimi doa. Sehingga atas dasar itulah keluarga yang ditinggal mengadakan
selametan kematian/tahlilan.[7]
Secara bahasa, tahlil berasal dari sighat
masdar dari kata “hallala” yang bisa berarti membaca kalimat la ilaha
illaallah. Tahlilan digunakan sebagai istilah bagi perkumpulan orang untuk
melakukan doa bersama bagi orang yang sudah meninggal, dimana bacaan tahlil
menjadi inti puncak bacaan, berdasarkan keyakinan bahwa “kunci pembuka gerbang
surga adalah ucapan tahlil”. Pada saat tahlilan biasanya dilakukan pembacaan
surat yasin, tahlil, tahmid, tasbih dan semacamnya.
Setelah ritual tahlilan selesai, pada umumnya
tuan rumah menghidangkan makanan dan minuman untuk jamaah. Kadang masih
ditambah dengan berkat buah tangan. Hidangan dan pemberian ini dimaksudkan
sebagai shadaqah, yang pahalanya dihadiahkan kepada orang yang sudah meninggal
untuk didoakan tersebut. Selain itu juaga sebagai bentuk ungkapan rasa cinta
dan kasih sayang dan silaturahmi ruhani.
Hanya saja kemampuan ekonomi tetap harus
menjadi pertimbangan utama. Tidak boleh memaksakan diri untuk melakukan acara
tahlilan, berhutang sampai kesana kemari. Dalam kondisis seperti ini, sebaiknya
perjamuan dilakukan ala kadarnya saja.
Lain halnya jika memiliki kemampuan ekonomi
yang sangat memungkinkan, selama tidak ishraf (berlebih-lebihan), suguhan
istimewa yang dihidangkan dapat diperkenankan sebagai suatu bentuk penghormatan
serta kecintaan kepada keluarga yang telah meninggal dunia. Dan yang tak kalah
pentingnya masyarakat yang melakukan tahlilan hendaknya menata niat bahwa apa
yang dilakukan itu semata-mata karena Allah SWT.
5. Hikmah Selametan
Banyak manfaat
yang diperoleh dari acara selametan, diantaranya :
a. Selametan merupakan tanda syukur kepada Allah
atas segala nikmat dan karunia-Nya.
b. Selametan merupakan salah satu sarana dakwah
Islamiyah karena dalam acara tersebut diisi dengan ceramah agama.
c. Selametan dapat merekatkan tali persaudaraan
antara sesama keluarga anggota masyarakat.
d. Doa yang dilakukan secara berjamaah lebih
terkabul dibanding sendirian. Menurut Imam Ghazali doa yang dilakukan 40 orang
islam sama dengan seorang wali.
e. Selametan untuk orang yang sudah meninggal
dunia dapat mengingatkan kita tentang kematian yang mesti terjadi.
f. Hidangan dalam selametan merupakan shadaqah dari shahibul hajat
yang bertujuan untuk memeperoleh
keselamatan dan terhindar dari bahaya.[8]
v Dari hukum-hukum di atas maka :
a)
Menimbang
-
Banyak peristiwa-peristiwa yang dianggap penting yang
kemudian diadakan acara selametan.
-
Namun tradisi selametan ini belum ada pada zaman Nabi
Muhammad SAW.
-
Alasan diadakannya selametan adalah berdoa untuk mencapai
keadaan yang aman dan sejahtera.
b)
Mengingat
Firman Allah dalam QS. Al-baqarah ayat 271 :
إِنْ تُبْدُوْا الصَّدَقَتِ فَنِعِمَا هِيَ صلى
وَاِنْ تُخْفُوْهَا وَتُؤْتُوْهَا الْفُقَرَآءَ فَهُوَ
خَيْرٌلَّكُمْجوَيُكَفِّرُعَنْكُمْ
مِّنْ سَيِّئَا تِيْكُمْ قلى وَاللهُ بِمَ تَعْمَلُوْنَ خَبِيْرٌ
(البقره :271)
Artinya :
“Jika kamu menampakkan sedekah(mu), maka itu adalah baik
sekali. Dan jika kamu menyembunyikan dan kamu berikan kepada orang-orang fakir,
maka menyembunyikan itu lebih baik bagimu. Dan Allah akan menghapuskan dari
kamu sebagian kesalahan-kesalahanmu, dan Allah mengetahui apa yang kamu
kerjakan.” (QS. Al-baqarah 271).
Dalam firman-Nya juga meneyebutkan dalam
Ali-imran ayat 92 :
لَنْ تَنَالُواالْبِرَّحَتَّى تُنْفِقُوْا
مِمَّا تُحِبُّوْنَ ج وَمَا تُنْفِقُوْا مِنْ شَيْئٍ فَإِنَّاللهَ بِهِ
عَلِيْمٌ
Artinya :
“kamu sekali-kali tidak sampai pada kebajikan (yang
sempurna), sebelum kamu menafkahkan sebahagiaan harta yang kamu cintai. Dan
apasaja yang kamu nafkahkan, maka sesungguhnya Allah mengetahuinya. ” (QS.
Ali-imran 92).
Dalam
kitab al-Majmu’ Syarah al-Muhadzab juz 5 hal 258. Menegaskan:
يُـسْـتَـحَبُّ اَنْ يَـمْكُثَ عَلىَ اْلقَبْرِ بَعْدَ الدُّفْنِ سَاعَـةً يَدْعُوْ لِلْمَيِّتِ وَيَسْـتَـغْفِرُ لَهُ . نَـصَّ عَلَيْهِ اَلشَّافِعِىُّ وَاتَّفَقَ عَلَيْهِ اَلاَصْحَابُ قَالوُا : يُـسْـتَـحَبُّ اَنْ يَـقْرَأَ عِنْدَهُ شَيْئٌ مِنَ اْلقُرْأَنِ وَاِنْ خَتَمُوْا َاْلقُرْأَنَ كَانَ اَفْضَلُ . المجموع :5 – 258.
Artinya “Disunnahkan untuk diam sesaat di samping kubur setelah menguburkan mayit untuk mendoakan dan memohonkan ampunan kepadanya”, pendapat ini disetujui oleh Imam Syafi’i dan pengikut-pengikutnya, dan bahkan pengikut Imam Syafi’i mengatakan “sunah dibacakan beberapa ayat al-Qur’an di samping kubur si mayit, dan lebih utama jika sampai menghatamkan al-Qur’an”.
يُـسْـتَـحَبُّ اَنْ يَـمْكُثَ عَلىَ اْلقَبْرِ بَعْدَ الدُّفْنِ سَاعَـةً يَدْعُوْ لِلْمَيِّتِ وَيَسْـتَـغْفِرُ لَهُ . نَـصَّ عَلَيْهِ اَلشَّافِعِىُّ وَاتَّفَقَ عَلَيْهِ اَلاَصْحَابُ قَالوُا : يُـسْـتَـحَبُّ اَنْ يَـقْرَأَ عِنْدَهُ شَيْئٌ مِنَ اْلقُرْأَنِ وَاِنْ خَتَمُوْا َاْلقُرْأَنَ كَانَ اَفْضَلُ . المجموع :5 – 258.
Artinya “Disunnahkan untuk diam sesaat di samping kubur setelah menguburkan mayit untuk mendoakan dan memohonkan ampunan kepadanya”, pendapat ini disetujui oleh Imam Syafi’i dan pengikut-pengikutnya, dan bahkan pengikut Imam Syafi’i mengatakan “sunah dibacakan beberapa ayat al-Qur’an di samping kubur si mayit, dan lebih utama jika sampai menghatamkan al-Qur’an”.
Mengutip dari hadits Rasulullah dari sahabat Abu Hurairah ra.
وَعَنْ اَبِـى هُرَيْرَةَ رَضِىَ الله ُعَنْهُ قَالَ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّىالله ُعَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ دَخَلَ اَلْمَقَابِرَ ثُمَّ قَرَأ َفَاتِحَةَ اْلكِتَابِ وَقُلْ هُوَالله ُاَحَدٌ , وَاَلْهَاكُمُ التَّكَاثُرْ , ثُمَّ قَالَ : اِنـِّى جَعَلْتُ ثَوَابَ مَا قَرَأْتُ مِنْ كَلاَمِكَ ِلأَهْلِ اْلـَمقَابِرَ مِنَ اْلمُؤْمِنِيْنَ وَاْلمُؤْمِنَاتِ كَانُوْ شُفَعَاءَ لَهُ اِلَى الله تَعَالىَ .
Artinya: Abi Hurairah ra. berkata, Rasulullah saw bersabda “barang siapa berziarah ke makam/kuburan kemudian membaca al-Fatikhah, Qul Huwa Allah Akhad, dan al-Hakumuttakatsur, kemudian berdoa “sesungguhnya aku hadiahkan pahala apa yang telah kubaca dari firmanmu kepada ahli kubur dari orang mukmin laki-laki dan mukmin perempuan” maka pahala tersebut bisa mensyafaati si mayit di sisi Allah swt.”
Dalam tradisi
tahlilan, juga disebutkan dalam hadits yang diriwayatkan dari Ma’qil bin Yasar
ra. Bahwa Rasulullah SAW bersabda yang artinya : “Surat yasin adalah jantung
Al-quran, tidaklah sesorang memebacanya dengan mengharap rahmat Allah kecuali
Allah akan mengampuni dosa-dosanya. Maka bacalah surat yasin atas orang-orang
yang telah meninggal diantara kamu sekalian” (HR. Musnad Ahmad bin Hanbal).
c)
Memperhatikan
1) Tentang hal ini Imam Muhammad bin Ali bin
Muhammad al-Syaukani berkata :
“kebiasaan di sebagian negara mengenai
prtemuan di masjid, rumah atau di kuburan untuk membeca al-Quran yang pahalanya
dihadiahkan kepada orang yang telah meninggal dunia, tidak diragukan lagi
hukumnya boleh “jaiz” jika di dalamnya tidak terdapat kemaksiatan dan
kemungkaran, meskipun tidak ada penjelasan (secara dhahir) dari syariat.
Kegiatan melaksanakan majlisan itu pada dasarnya bukanlah sesuatu yag haram (muharram
fi nafsih), apalagi jika di dalamnya diisi dengan kegiatan yang dapat
menghasilkan ibadah seperti membaca al-Quran atau yang lainnya kepada orang
yang meninggal dunia. Bahkan ada beberapa jenis bacaan yang didasarkan pada
hadits yang shahih, seperti : bacalah surat yasin kepada orang yang mati
diantara kamu. Tidak ada bedanya apakah pembacaan surat yasin itu dilakukan
berama-sama didekat mayit atau di kuburannya, da membaca al-Quran secara
keseluruhan atau sebagian, baik dilakukan di masjid atau di rumah. (al-Rasail
al-Salafiyah : 46) ”.
2) Menurut jumhur fuqoha’ ahlussunnah wal jama’ah
seperti yang telah diterangkan oleh al-‘Allamah Muhammad al-‘Araby mengutip
dari hadits Rasulullah dari sahabat Abu Hurairah ra. Rasulullah saw bersabda
“barang siapa berziarah ke makam/kuburan kemudian membaca al-Fatikhah, Qul Huwa
Allah Akhad, dan al-Hakumuttakatsur, kemudian berdoa “sesungguhnya aku
hadiahkan pahala apa yang telah kubaca dari firmanmu kepada ahli kubur dari
orang mukmin laki-laki dan mukmin perempuan” maka pahala tersebut bisa
mensyafaati si mayit di sisi Allah swt”.
3) Menurut pendapat
Madzhab Imam Malik. Menurut pendapat ulama’ pengikut madzhab Maliki bahwasanya pahala puasa,
shalat sunnah dan bacaan al-Qur’an adalah tidak bisa sampai kepada mayit.
d) Memutuskan
Menetapkan bahwa hukum selametan itu ada 2
macam :
1. Mubah
Hukum selametan itu dibolehkan. Jika pada acara selametan
itu berisi kegiatan-kegiatan yang bermanfaat, seperti berdoa kepada Allah,
berdzikir, bertasbih, bertahlil, membaca al-Quran, bersedekah dll.
2. Haram
Hukum selametan tersebut menjadi haram jika tujuannnya adalah
meminta keselamatan kepada selain Allah SWT. Selametan tersebut juga tidak
boleh disamakan layaknya memberikan sebuah sesajen. Kegiatan tersebut harus
diniati untuk beramal.
6. Penutup
A. Kesimpulan
Dari pembahasan tradisi selametan di atas,
maka dapat diambil kesimpulan bahwa hukum selametan itu ada 2 macam :
1)
Mubah
Hukum selametan itu dibolehkan. Jika pada acara selametan
itu berisi kegiatan-kegiatan yang bermanfaat, seperti berdoa kepada Allah,
berdzikir, bertasbih, bertahlil, membaca al-Quran, bersedekah dll.
2)
Haram
Hukum selametan tersebut menjadi haram jika tujuannnya
adalah meminta keselamatan kepada selain Allah SWT. Selametan tersebut juga
tidak boleh disamakan layaknya memberikan sebuah sesajen. Kegiatan tersebut
harus diniati untuk beramal.
B. Rekomendasi
Pada dasarnya selametan itu sudah ada sejak
dulu. Siklus kehidupan yang meliputi kelahiran, pernikahan dan kematian
kemudian merupakan momentum yang sangat penting, baik bagi yang mengalami,
keluarga maupun bagi orang yang ada di sekeliling.
Agama Islam melalui al-Quran dan as-Sunnah
sangat memperhatikan proses-proses penting yang berhubungan dengan siklus
kehidupan tersebut. Adanya berbagai ritual dan tradisi yang dilaksanakan secara
islami oleh umat Islam, telah memperkokoh eksistensi dari esensi ajaran islam
itu sendiri.
7. Daftar Pustaka
Al-Aziz, Moh. Saifulloh. 2009. Kajian
Hukum-hukum walimah. Surabaya : Terbit terang.
Khalil, Akhmad. 2008. Islam Jawa, Sufisme
dalam Etika dan Tradisi jawa. Malang : UIN Malang Press.
Koentjaraningrat. 1994. Kebudayaan Jawa.
Yogyakarta : Balai Pustaka.
http://santribuntet.wordpress.com/2010/07/17/seputar-budaya-haul-khataman-selamatan-dan-tahlil/ diakses pada
1/04/2013
[2] Akhmad
Khalil, Islam jawa, Sufisme dalam Etika dan Tradisi Jawa (Malang : UIN
Malang Press, 2008) hlm. 278
[5] http://santribuntet.wordpress.com/2010/07/17/seputar-budaya-haul-khataman-selamatan-dan-tahlil/ diakses pada 1/04/2013
[6] Muhammad
Sholikhin, Ritual Tradisi islam Jawa (Yogyakarta : Narasi. 2010) hlm. 80
Langganan:
Komentar (Atom)