Kamis, 18 April 2019

Jika anak nakal, itu salah siapa????

Anak merupakan amanah Allah SWT yang harus kita jaga, kita bimbing dan kita didik agar menjadi pribadi yang baik.
Seorang anak yang baru lahir itu ibarat kertas yang berwarna putih. Bersih, suci tak ada noda-noda yang menghiasi. Tinggal orang tua dan pengaruh lingkungan yang menjadikan kertas putih bersih itu menjadi berwarna. Jika orang tua memberi warna biru, maka kertas putih  itu menjadi warna biru. Jika lingkungan memberi warna hitam, maka kertas putih itu menjadi warna hitam. Ketika guru memberi warna hijau maka kertas putih itu menjadi warna hijau.
Sekarang, jika anak-anak sudah tidak bisa dididik dan dibimbing dengan baik. Itu menjadi salah siapa??
Sungguh miris ketika melihat berita di tv, di internet maupun di surat kabar. Anak-anak zaman sekarang ini seperti sudah tidak mempunyai akhlakul karimah lagi. Contohnya di sekolah, banyak siswa yang menghajar gurunya ketika sang guru mengingatkan pada perilaku yang menyimpang itu. Sekarang ini guru di sekolah seperti sudah tidak mempunyai wibawa lagi. Ketika orangtua juga melaporkannnya pada polisi.
Seharusnya mendidik anak agar menjadi lebih baik lagi itu adalah faktor dari tri pusat pendidikan. Yaitu dari pendidikan di rumah, di sekolah dan di lingkungan sekitarnya. Ketiga faktor itulah yang harus benar-benar mendidik anak menjadi pribadi yang baik.

Senin, 21 November 2016

Tradisi "Slametan" dalam perspektif Islam



1.          PENDAHULUAN
Sejak kapan mulai adanya tradisi selamatan di Indonesia ini, sampai detik ini belum ada keterangan pasti. Namun, hampir dapat disepakati bahwa timbulnya tradisi selamatan tidak bisa dilepaskan dari pengaruh lingkungan sosial budaya bangsa Indonesia. Khususnya pengaruh dari kepercayaan yang telah dianut bangsa Indonesia sebelum islam datang yaitu animisme, dinamisme, hindunisme,  dan budhaisme.
Tradisi selametan yang sudah dibina oleh walisongo dengan isi unsur-unsur keislaman ini disebut oleh masyarakat Jawa dengan sebutan selamatan atau kenduri. Tradisi ini merupakan tradisi orang Jawa sebelum islam datang.
Dalam hal ini berlaku kaidah “almuhafazhatu ‘ala al-qadim al shalih wal akhdzu bi al jaded al aslah” yaitu melestarikan kebaikan yang ada dan mengambil atau mengkreasi sesuatu yang baru yang lebih baik dengan menggunakan kaidah ini. Pengikut aswaja memiliki pegangan dalam menyikapi tradisi. Yang dilihat bukan tradisi atau budayanya, tetapi nilai yang dikandungnya. Jika sebuah budaya tidak bertentangan dengan ajaran pokok islam dalam artian mengandung kebaikan, maka bisa diterima. Bahkan bisa dipertahankan untuk diikuti. Ini sebagaimana kaidah ushul fiqh al-adah muhakkamah bahwa budaya atau tradisi yang baik bisa menjadi pertimbangan hukum. [1]

2.      Pengertian Selametan
Salah satu adat istiadat, sebagai ritual keagamaan yang paling populer di  masyarakat Islam Jawa adalah selametan. Suatu upacara ritual yang telah mentradisi di kalangan masyarakat islam jawa yang dilaksanakan untuk peristiwa-peristiwa penting.[2]
Dalam buku Ensiklopedi Kebudayaan jawa, slametan diartikan sebagai upacara sedekah makanan dan doa bersama, yang bertujuan untuk memohon keselamatan dan ketentraman untuk ahli keluarga yang menyelenggarakan. Alasan utama yang lebih kuat dalam pelaksanaan slametan yaitu keinginan untuk mencapai keadaan yang aman dan sejahtera.
Upacara slametan biasanya di rumah suatu keluarga, dan dihadiri oleh anggota-anggota keluarga dengan beberapa tamu (kebanyakan pria), yaitu biasanya tetangga-tetangga terdekat dan kenalan-kenalan yang tinggal tidak terlalu jauh, kerabat-kerabat yang tinggal di kota atau dusun yang sama, dan adakalanya juga teman-teman akrab yang mungkin tinggal agak jauh. [3]

3.      Dasar Pelaksanaan dan Hukum Selametan
Sebagaimana telah disinggung di muka bahwa sesungguhnya hakikat dari kegunaan selametan ini adalah bersedekah. Hanya saja bentuknya berupa makanan yang sudah siap saji. Bersedekah jelas dianjurkan oleh agama Islam dengan tujuan agar mendapatkan pahala dan kebaikan dari Allah. Banyak ayat-ayat Al-quran dan Hadits Rasulullah SAW yang menjelaskan tentang fadlilah shadaqah ini. Diantaranya :

إِنْ تُبْدُوْا الصَّدَقَتِ فَنِعِمَا هِيَ صلى وَاِنْ تُخْفُوْهَا وَتُؤْتُوْهَا الْفُقَرَآءَ فَهُوَ                             (البقره :271)          خَيْرٌلَّكُمْجوَيُكَفِّرُعَنْكُمْ مِّنْ سَيِّئَا تِيْكُمْ قلى وَاللهُ بِمَا تَعْمَلُوْنَ خَبِيْرٌ

Artinya :
“Jika kamu menampakkan sedekah(mu), maka itu adalah baik sekali. Dan jika kamu menyembunyikan dan kamu berikan kepada orang-orang fakir, maka menyembunyikan itu lebih baik bagimu. Dan Allah akan menghapuskan dari kamu sebagian kesalahan-kesalahanmu, dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al-baqarah 271).
Dalam firman-Nya juga meneyebutkan dalam Ali-imran ayat 92 :

لَنْ تَنَالُواالْبِرَّحَتَّى تُنْفِقُوْا مِمَّا تُحِبُّوْنَ ج وَمَا تُنْفِقُوْا مِنْ شَيْئٍ فَإِنَّاللهَ بِهِ عَلِيْمٌ

Artinya :
“kamu sekali-kali tidak sampai pada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sebahagiaan harta yang kamu cintai. Dan apasaja yang kamu nafkahkan, maka sesungguhnya Allah mengetahuinya. ” (QS. Ali-imran 92).[4]
Dalam kitab al-Majmu’ Syarah al-Muhadzab juz 5 hal 258. Menegaskan:
يُـسْـتَـحَبُّ اَنْ يَـمْكُثَ عَلىَ اْلقَبْرِ بَعْدَ الدُّفْنِ سَاعَـةً يَدْعُوْ لِلْمَيِّتِ وَيَسْـتَـغْفِرُ لَهُ . نَـصَّ عَلَيْهِ اَلشَّافِعِىُّ وَاتَّفَقَ عَلَيْهِ اَلاَصْحَابُ قَالوُا : يُـسْـتَـحَبُّ اَنْ يَـقْرَأَ عِنْدَهُ شَيْئٌ مِنَ اْلقُرْأَنِ وَاِنْ خَتَمُوْا َاْلقُرْأَنَ كَانَ اَفْضَلُ . المجموع :5 – 258.
Artinya “Disunnahkan untuk diam sesaat di samping kubur setelah menguburkan mayit untuk mendoakan dan memohonkan ampunan kepadanya”, pendapat ini disetujui oleh Imam Syafi’i dan pengikut-pengikutnya, dan bahkan pengikut Imam Syafi’i mengatakan “sunah dibacakan beberapa ayat al-Qur’an di samping kubur si mayit, dan lebih utama jika sampai menghatamkan al-Qur’an”.
Menurut Fuqoha’ Ahlussunnah Wal Jama’ah
Menurut jumhur fuqoha’ ahlussunnah wal jama’ah seperti yang telah diterangkan oleh al-‘Allamah Muhammad al-‘Araby mengutip dari hadits Rasulullah dari sahabat Abu Hurairah ra.

وَعَنْ اَبِـى هُرَيْرَةَ رَضِىَ الله ُعَنْهُ قَالَ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّىالله ُعَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ دَخَلَ اَلْمَقَابِرَ ثُمَّ قَرَأ َفَاتِحَةَ اْلكِتَابِ وَقُلْ هُوَالله ُاَحَدٌ , وَاَلْهَاكُمُ التَّكَاثُرْ , ثُمَّ قَالَ : اِنـِّى جَعَلْتُ ثَوَابَ مَا قَرَأْتُ مِنْ كَلاَمِكَ ِلأَهْلِ اْلـَمقَابِرَ مِنَ اْلمُؤْمِنِيْنَ وَاْلمُؤْمِنَاتِ كَانُوْ شُفَعَاءَ لَهُ اِلَى الله تَعَالىَ        .
Artinya: Abi Hurairah ra. berkata, Rasulullah saw bersabda “barang siapa berziarah ke makam/kuburan kemudian membaca al-Fatikhah, Qul Huwa Allah Akhad, dan al-Hakumuttakatsur, kemudian berdoa “sesungguhnya aku hadiahkan pahala apa yang telah kubaca dari firmanmu kepada ahli kubur dari orang mukmin laki-laki dan mukmin perempuan” maka pahala tersebut bisa mensyafaati si mayit di sisi Allah swt.”[5]
Sungguh besar fadhilah dari shadaqah ini, termasuk juga shadaqah yang dilakukan melalui kegiatan selametan. Dimana dalam acara tersebut diisi dengan kegiatan membaca Al-quran, dzikir, shalawat, dan doa. Tujuannya adalah untuk memohon keselamatan kepada Allah agar terhindar dari malapetaka, bencana, dan juga mendoakan orang yang telah meninggal dunia agar mendapatkan ampunan atas segala dosa dan kesalahan yang pernah diperbuat pada waktu hidupnya. Segala amal kebaikannya diterima oleh Allah, senantiasa dilimpahi rahmat dan ridha Allah.
Adapun mengenai hukum selametan adalah sunnah, khusus untuk walimatul ‘ursy hukumnya sunnah muakad.

4.      Macam-macam Pelaksanaan Selametan
Macam-macam selametan yang sering diadakan di sekitar kita  yaitu :
a.    Selametan kelahiran
Sudah menjadi kebiasaan sebagian masyarakat Islam, bukan hanya di Indonesia, namun juga sebagian masyarakat muslim Asia Tenggara. Saat kehamilan hingga kelahiran sering diadakan upacara selametan.
Jenis ritual selametan pada siklus kelahiran seperti :
1)        Ngupati atau ngapati, yaitu selametan yang diadakan saat kehamilan mencapai usia 120 hari atau 4 bulan.
2)        Mitoni atau tingkeban, yaitu selametan yang diadakan saat kehamilan mencapai usia tujuh bulan.
3)        Sepasaran, yaitu selametan yang diadakan saat hari ke-5 setelah keahiran bayi, pemberian nama dan
4)        Puputan. Yaitu selametan setelah lepasnya tali pusar bayi.
5)        Selapanan, yaitu selametan yang diadakan saat hari ke-35 setelah kelahiran bayi.
6)        Tedhak siti, yaitu selametan yang diadakan saat anak berusia 245 hari.
7)        Setahun, yaitu selametan yang diadakan saat usi anak 1 tahun.

Inti ritual atau upacara yang diadakan tersebut merupakan acara berdoa (sebagai sikap rasa syukur, ketundukan dan kepasrahan, sekaligus permohonan perlindungan). Mengajukan permohonan kepada Allah agar nanti anak lahir dalam keadaan utuh sempurna, yang sehat, yang dianugerahi rixki yang baik dan lapang, berumur panjang, bermanfaat, yang penuh dengan nilai-nilai ibadah, beruntung di dunia dan di akhirat.
            Pada sebagian masyarakat muslim saat ini, pada upacara tersebut terkadang juga di adakan acara sima’an, yaitu pembacaan Al-quran oleh yang hafal Al-quran 30 juz. Dengan disimak oleh orang banyak sampai selesai. Kemudian malamnya diadakan pembacaan beberapa kitab jenis Al-maulid atau Manaqib. Pembacaan tersebut memiliki tendensi agar anak selalu menggunakan Al-quran sebagai pedoman hidup dan dapat mentauladani Rasulullah SAW serta tokoh ulama aulia lainnya.
            Sehingga dapat dinyatakan bahwa sebenarnya merupakan suatu hal yang sangat indah dan menentramkan sekali ritual-ritual tersebut. Dengan upacara itu, maka selain doa dan sedekah, rajutan silaturahmi juga semakin terjalin akrab. Karena dalam selametan tersebut, yang memiliki hajat meminta kepada sejumlah orang untuk berdoa dan mendoakan, yang disertai dengan perilaku sedekah. Sedekah sendiri merupakan bentuk kesadaran untuk bershadaqah, yakni suatu jenis amal shalih memberikan barang kepada orang lain secara sukarela. Sebagai bentuk ibadah membenarkan ajaran Allah melalui Rasulullah SAW.
            Karena salah satu tendensi ritual tersebut adalah memanjatkan doa kepada Allah, melalukan sedekah dan menjalin silaturahmi, maka dalam konteks hukum agama islam, hal tersebut menjadi mustahab (hal yang disukai oleh Allah dan Rasul-Nya), dimana mustahab ini merupakan bagian dari al-sunnah al-nabawiyah (sunnah atau tradisi kenabian).[6]
b.    Selametan Perkawinan
Jenis selametan pada tradisi perkawinan seperti :
1)   Pumbakarnan, yaitu selametan setelah memusyawarahkan segala hal yang akan dilaksanakan terkait dengan upacara pernikahan.
2)   Pasang tarub, yaitu selametan yang diadakan pada malam 2 atau 1 hari sebelum upacara pernikahan.
3)   Midodareni, yaitu selametan malam upacara pernikahan sekaligus tebusan kembang mayang.
4)   Walimahan, yaitu selametan yang dilaksanakan pada saat sesudah ijab qabul atau setelah upacara pernikahan.
5)   Sepasaran manten, yaitu selametan yang dilaksanakan pada hari ke-5 dari ijal dan qabul.
Serangkaian selametan di atas, merupakan tanda syukur atas nikmat Allah SWT dan juga agar masyarakat mengetahui dan dapat menyaksikan ats terjadinya pernikahan.
Kemudian umumnya pada pelaksanaan pernikahan tersebut terdapat acara walimatul ‘ursy. Walimatul ‘ursy ialah perayaan atau kenduri dalam rangka pernikahan atau sesudahnya. Hukum pengadaannya adalah sunnah muakad, sebagaimana sabda Rasul yang artinya : “Umumkanlah pernikahan dan pukullah genderang untuk itu”.
Pelaksanaan walimahan itu boleh dilakukan pada saat akad (sesudah berlangsungnya) atau pada waktu yang lain, tergantung pada adat kebiasaan yang berlaku di tempat tersebut.
c.    Selametan Kematian
Jenis ritual selametan kematian antara lain :
1)        Surtanah, yaitu setelah mayat dikebumikan.
2)        Nelungdina, yaitu selametan hari ke-3 dari kematian.
3)        Mitungdina, yaitu selametan hari ke-7 dari kematian.
4)        Matangpuluhan, yaitu selametan hari ke-40 dari kemarian.
5)        Nyatusdina, yaitu selametan hari ke-100 dari kematian.
6)        Mendak pisan, yaitu peringatan satu tahun pertama dari kematian.
7)        Mandak pindo, yaitu peringatan dua tahun dari kematian.
8)        Nyewu dina, yaitu purna upacara bagi orang yang sudah meninggal.
Haul yaitu selametan peringatan tahunan bagi orang yang sudah meninggal. Menurut keyakinan Islam, orang-orang yang sudah meninggal dunia, ruhnya tetap hidup sebagaimana menurut orang Jawa. Hanya saja ruh itu tinggal sementara di alamkubur atau alam barzah, yakni alam sebelum memasuki alam akhirat. Islam percaya bahwa orang yang meninggal dunia perlu dikirimi doa. Sehingga atas dasar itulah keluarga yang ditinggal mengadakan selametan kematian/tahlilan.[7]
Secara bahasa, tahlil berasal dari sighat masdar dari kata “hallala” yang bisa berarti membaca kalimat la ilaha illaallah. Tahlilan digunakan sebagai istilah bagi perkumpulan orang untuk melakukan doa bersama bagi orang yang sudah meninggal, dimana bacaan tahlil menjadi inti puncak bacaan, berdasarkan keyakinan bahwa “kunci pembuka gerbang surga adalah ucapan tahlil”. Pada saat tahlilan biasanya dilakukan pembacaan surat yasin, tahlil, tahmid, tasbih dan semacamnya.
Setelah ritual tahlilan selesai, pada umumnya tuan rumah menghidangkan makanan dan minuman untuk jamaah. Kadang masih ditambah dengan berkat buah tangan. Hidangan dan pemberian ini dimaksudkan sebagai shadaqah, yang pahalanya dihadiahkan kepada orang yang sudah meninggal untuk didoakan tersebut. Selain itu juaga sebagai bentuk ungkapan rasa cinta dan kasih sayang dan silaturahmi ruhani.
Hanya saja kemampuan ekonomi tetap harus menjadi pertimbangan utama. Tidak boleh memaksakan diri untuk melakukan acara tahlilan, berhutang sampai kesana kemari. Dalam kondisis seperti ini, sebaiknya perjamuan dilakukan ala kadarnya saja.
Lain halnya jika memiliki kemampuan ekonomi yang sangat memungkinkan, selama tidak ishraf (berlebih-lebihan), suguhan istimewa yang dihidangkan dapat diperkenankan sebagai suatu bentuk penghormatan serta kecintaan kepada keluarga yang telah meninggal dunia. Dan yang tak kalah pentingnya masyarakat yang melakukan tahlilan hendaknya menata niat bahwa apa yang dilakukan itu semata-mata karena Allah SWT.

5.      Hikmah Selametan
Banyak manfaat yang diperoleh dari acara selametan, diantaranya :
a.       Selametan merupakan tanda syukur kepada Allah atas segala nikmat dan karunia-Nya.
b.      Selametan merupakan salah satu sarana dakwah Islamiyah karena dalam acara tersebut diisi dengan ceramah agama.
c.       Selametan dapat merekatkan tali persaudaraan antara sesama keluarga anggota masyarakat.
d.      Doa yang dilakukan secara berjamaah lebih terkabul dibanding sendirian. Menurut Imam Ghazali doa yang dilakukan 40 orang islam sama dengan seorang wali.
e.       Selametan untuk orang yang sudah meninggal dunia dapat mengingatkan kita tentang kematian yang mesti terjadi.
f.       Hidangan dalam selametan  merupakan shadaqah dari shahibul hajat yang bertujuan untuk memeperoleh  keselamatan dan terhindar dari bahaya.[8]

v Dari hukum-hukum di atas maka :
a)        Menimbang
-          Banyak peristiwa-peristiwa yang dianggap penting yang kemudian diadakan acara selametan.
-          Namun tradisi selametan ini belum ada pada zaman Nabi Muhammad SAW.
-          Alasan diadakannya selametan adalah berdoa untuk mencapai keadaan yang aman dan sejahtera.
b)        Mengingat
Firman Allah dalam QS. Al-baqarah ayat 271 :

إِنْ تُبْدُوْا الصَّدَقَتِ فَنِعِمَا هِيَ صلى وَاِنْ تُخْفُوْهَا وَتُؤْتُوْهَا الْفُقَرَآءَ فَهُوَ
 خَيْرٌلَّكُمْجوَيُكَفِّرُعَنْكُمْ مِّنْ سَيِّئَا تِيْكُمْ قلى وَاللهُ بِمَ تَعْمَلُوْنَ خَبِيْرٌ
 (البقره :271)
Artinya :
“Jika kamu menampakkan sedekah(mu), maka itu adalah baik sekali. Dan jika kamu menyembunyikan dan kamu berikan kepada orang-orang fakir, maka menyembunyikan itu lebih baik bagimu. Dan Allah akan menghapuskan dari kamu sebagian kesalahan-kesalahanmu, dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al-baqarah 271).
Dalam firman-Nya juga meneyebutkan dalam Ali-imran ayat 92 :

لَنْ تَنَالُواالْبِرَّحَتَّى تُنْفِقُوْا مِمَّا تُحِبُّوْنَ ج وَمَا تُنْفِقُوْا مِنْ شَيْئٍ فَإِنَّاللهَ بِهِ عَلِيْمٌ

Artinya :
“kamu sekali-kali tidak sampai pada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sebahagiaan harta yang kamu cintai. Dan apasaja yang kamu nafkahkan, maka sesungguhnya Allah mengetahuinya. ” (QS. Ali-imran 92).
Dalam kitab al-Majmu’ Syarah al-Muhadzab juz 5 hal 258. Menegaskan:
يُـسْـتَـحَبُّ اَنْ يَـمْكُثَ عَلىَ اْلقَبْرِ بَعْدَ الدُّفْنِ سَاعَـةً يَدْعُوْ لِلْمَيِّتِ وَيَسْـتَـغْفِرُ لَهُ . نَـصَّ عَلَيْهِ اَلشَّافِعِىُّ وَاتَّفَقَ عَلَيْهِ اَلاَصْحَابُ قَالوُا : يُـسْـتَـحَبُّ اَنْ يَـقْرَأَ عِنْدَهُ شَيْئٌ مِنَ اْلقُرْأَنِ وَاِنْ خَتَمُوْا َاْلقُرْأَنَ كَانَ اَفْضَلُ . المجموع :5 – 258.
Artinya “Disunnahkan untuk diam sesaat di samping kubur setelah menguburkan mayit untuk mendoakan dan memohonkan ampunan kepadanya”, pendapat ini disetujui oleh Imam Syafi’i dan pengikut-pengikutnya, dan bahkan pengikut Imam Syafi’i mengatakan “sunah dibacakan beberapa ayat al-Qur’an di samping kubur si mayit, dan lebih utama jika sampai menghatamkan al-Qur’an”.
Mengutip dari hadits Rasulullah dari sahabat Abu Hurairah ra.

وَعَنْ اَبِـى هُرَيْرَةَ رَضِىَ الله ُعَنْهُ قَالَ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّىالله ُعَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ دَخَلَ اَلْمَقَابِرَ ثُمَّ قَرَأ َفَاتِحَةَ اْلكِتَابِ وَقُلْ هُوَالله ُاَحَدٌ , وَاَلْهَاكُمُ التَّكَاثُرْ , ثُمَّ قَالَ : اِنـِّى جَعَلْتُ ثَوَابَ مَا قَرَأْتُ مِنْ كَلاَمِكَ ِلأَهْلِ اْلـَمقَابِرَ مِنَ اْلمُؤْمِنِيْنَ وَاْلمُؤْمِنَاتِ كَانُوْ شُفَعَاءَ لَهُ اِلَى الله تَعَالىَ        .
Artinya: Abi Hurairah ra. berkata, Rasulullah saw bersabda “barang siapa berziarah ke makam/kuburan kemudian membaca al-Fatikhah, Qul Huwa Allah Akhad, dan al-Hakumuttakatsur, kemudian berdoa “sesungguhnya aku hadiahkan pahala apa yang telah kubaca dari firmanmu kepada ahli kubur dari orang mukmin laki-laki dan mukmin perempuan” maka pahala tersebut bisa mensyafaati si mayit di sisi Allah swt.”
Dalam tradisi tahlilan, juga disebutkan dalam hadits yang diriwayatkan dari Ma’qil bin Yasar ra. Bahwa Rasulullah SAW bersabda yang artinya : “Surat yasin adalah jantung Al-quran, tidaklah sesorang memebacanya dengan mengharap rahmat Allah kecuali Allah akan mengampuni dosa-dosanya. Maka bacalah surat yasin atas orang-orang yang telah meninggal diantara kamu sekalian” (HR. Musnad Ahmad bin Hanbal).
       
c)        Memperhatikan
1)   Tentang hal ini Imam Muhammad bin Ali bin Muhammad al-Syaukani berkata :
“kebiasaan di sebagian negara mengenai prtemuan di masjid, rumah atau di kuburan untuk membeca al-Quran yang pahalanya dihadiahkan kepada orang yang telah meninggal dunia, tidak diragukan lagi hukumnya boleh “jaiz” jika di dalamnya tidak terdapat kemaksiatan dan kemungkaran, meskipun tidak ada penjelasan (secara dhahir) dari syariat. Kegiatan melaksanakan majlisan itu pada dasarnya bukanlah sesuatu yag haram (muharram fi nafsih), apalagi jika di dalamnya diisi dengan kegiatan yang dapat menghasilkan ibadah seperti membaca al-Quran atau yang lainnya kepada orang yang meninggal dunia. Bahkan ada beberapa jenis bacaan yang didasarkan pada hadits yang shahih, seperti : bacalah surat yasin kepada orang yang mati diantara kamu. Tidak ada bedanya apakah pembacaan surat yasin itu dilakukan berama-sama didekat mayit atau di kuburannya, da membaca al-Quran secara keseluruhan atau sebagian, baik dilakukan di masjid atau di rumah. (al-Rasail al-Salafiyah : 46) ”.
2)      Menurut jumhur fuqoha’ ahlussunnah wal jama’ah seperti yang telah diterangkan oleh al-‘Allamah Muhammad al-‘Araby mengutip dari hadits Rasulullah dari sahabat Abu Hurairah ra. Rasulullah saw bersabda “barang siapa berziarah ke makam/kuburan kemudian membaca al-Fatikhah, Qul Huwa Allah Akhad, dan al-Hakumuttakatsur, kemudian berdoa “sesungguhnya aku hadiahkan pahala apa yang telah kubaca dari firmanmu kepada ahli kubur dari orang mukmin laki-laki dan mukmin perempuan” maka pahala tersebut bisa mensyafaati si mayit di sisi Allah swt”.
3)      Menurut pendapat Madzhab Imam Malik. Menurut pendapat ulama’ pengikut madzhab Maliki bahwasanya pahala puasa, shalat sunnah dan bacaan al-Qur’an adalah tidak bisa sampai kepada mayit.
d)     Memutuskan
Menetapkan bahwa hukum selametan itu ada 2 macam :
1.    Mubah
Hukum selametan itu dibolehkan. Jika pada acara selametan itu berisi kegiatan-kegiatan yang bermanfaat, seperti berdoa kepada Allah, berdzikir, bertasbih, bertahlil, membaca al-Quran, bersedekah dll.
2.    Haram
Hukum selametan tersebut menjadi haram jika tujuannnya adalah meminta keselamatan kepada selain Allah SWT. Selametan tersebut juga tidak boleh disamakan layaknya memberikan sebuah sesajen. Kegiatan tersebut harus diniati untuk beramal.

6.      Penutup
A.    Kesimpulan
Dari pembahasan tradisi selametan di atas, maka dapat diambil kesimpulan bahwa hukum selametan itu ada 2 macam :
1)        Mubah
Hukum selametan itu dibolehkan. Jika pada acara selametan itu berisi kegiatan-kegiatan yang bermanfaat, seperti berdoa kepada Allah, berdzikir, bertasbih, bertahlil, membaca al-Quran, bersedekah dll.
2)        Haram
Hukum selametan tersebut menjadi haram jika tujuannnya adalah meminta keselamatan kepada selain Allah SWT. Selametan tersebut juga tidak boleh disamakan layaknya memberikan sebuah sesajen. Kegiatan tersebut harus diniati untuk beramal.

B.     Rekomendasi
Pada dasarnya selametan itu sudah ada sejak dulu. Siklus kehidupan yang meliputi kelahiran, pernikahan dan kematian kemudian merupakan momentum yang sangat penting, baik bagi yang mengalami, keluarga maupun bagi orang yang ada di sekeliling.
Agama Islam melalui al-Quran dan as-Sunnah sangat memperhatikan proses-proses penting yang berhubungan dengan siklus kehidupan tersebut. Adanya berbagai ritual dan tradisi yang dilaksanakan secara islami oleh umat Islam, telah memperkokoh eksistensi dari esensi ajaran islam itu sendiri.

7.      Daftar Pustaka
Al-Aziz, Moh. Saifulloh. 2009. Kajian Hukum-hukum walimah. Surabaya : Terbit terang.
Khalil, Akhmad. 2008. Islam Jawa, Sufisme dalam Etika dan Tradisi jawa. Malang : UIN Malang Press.
Koentjaraningrat. 1994. Kebudayaan Jawa. Yogyakarta : Balai Pustaka.


[1] Moh. Saifulloh Al-aziz S, kajian Hukum-hukum Walimah (Surabaya: Terbit Terang, 2009) hlm. 30

[2] Akhmad Khalil, Islam jawa, Sufisme dalam Etika dan Tradisi Jawa (Malang : UIN Malang Press, 2008) hlm. 278
[3] Koentjaraningrat, Kebudayaan jawa (Yogyakarta : Balai Pustaka, 1994) hlm. 344
[4] Moh. Saifulloh Al-Aziz S, Op. Cit., hlm. 15-23
[6] Muhammad Sholikhin, Ritual Tradisi islam Jawa (Yogyakarta : Narasi. 2010) hlm. 80
[7] Moh. Saifulloh Al-aziz S. Op. Cit., hlm. 84

[8] Moh. Saifulloh Al-aziz S. Op. Cit., hlm. 420-421